Pembagian administratif
Pembagian Wilayah Kecamatan di Kota Banda Aceh
Semula hanya ada 4 kecamatan di Kota Banda Aceh yaitu Meuraksa, Baiturrahman, Kuta Alam dan Syiah Kuala. Kemudian berkembang menjadi 9 kecamatan yaitu:
BANDAR ACEH DARUSSALAM
Banda Aceh dikenal sebagai tua yang erat kaitannya dengan sejarah gemilang Kerajaan Aceh Darussalam. Di masa kesultanan, Banda Aceh dikenal sebagai Bandar Aceh Darussalam. Kota ini dibangun oleh Sultan Johan Syah pada hari Jumat, tanggal 1 Ramadhan 601 H (22 April 1205 M). Saat ini, Banda Aceh telah berusia 813 tahun. Banda Aceh merupakan salah satu kota Islam Tertua di Asia Tenggara. Kota Banda aceh juga memerankan peranan penting dalam penyebaran islam ke seluruh Nusantara/ Indonesia. Oleh karena itu, kota ini juga dikenal sebagai Serambi Mekkah.
Di masa jayanya, Bandar Aceh Darussalam dikenal sebagai kota regional utama yang juga dikenal sebagai pusat pendidikan islam. Oleh karena itu, kota ini dikunjungi oleh banyak pelajar dari Timur Tengah, India dan Negara lainnya. Bandar Aceh Darussalam juga merupakan pusat perdagangan yang dikunjungi oleh para pedagang dari seluruh dunia termasuk dari Arab, Turki, China, Eropa, dan India. Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaan saat dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636), yang merupakan tokoh legendaris dalam sejarah Aceh.
Banyak dari pelajar dan pedagang pendatang ini akhirnya menetap di Aceh dan menikah dengan wanita lokal. Hal ini menyebabkan adanya pembauran budaya. Hingga saat ini, budaya-budaya masih menyisakan pemandangan di sudut-sudut kota Banda Aceh. Misalnya di Budaya Pecinan di Gampong Peunayong dan peninggalan kuburan Turki di Gampong Bitai.
Kecamatan Baiturrahman (Online)
Persatuan Sepak bola Indonesia Kutaraja Banda Aceh (Jawoë: ڤرستون سيڤك بول إندونيسيا كوترج بند اچيه; disingkat Persiraja Banda Aceh) adalah sebuah klub sepak bola profesional Indonesia asal Kota Banda Aceh, ibu kota Aceh yang didirikan pada 28 Juli 1957. Kutaraja merupakan nama lama Kota Banda Aceh yang sekarang menjadi Kecamatan Kuta Raja. Klub saat ini berkompetisi di Liga 2 kasta kedua sepak bola di liga Indonesia.[2]
Persiraja Banda Aceh didirikan pada tanggal 28 Juli 1957 dan telah mengikuti berbagai kompetisi sepak bola tanah air. Prestasi terbaik yang dicapai Persiraja yakni tampil sebagai juara perserikatan pada tahun 1980. Di babak final yang berlangsung di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Senayan, Jakarta, Persiraja sukses mengalahkan Persipura Jayapura dengan skor 3-1. Kala itu, 2 gol Persiraja berhasil disarangkan oleh Bustamam dan 1 gol lainnya dicetak oleh Rustam Syafari.
Pada musim 2008/2009 Persiraja bermain di Divisi Utama Liga Indonesia. Persiraja terkenal dengan permainan taktis dan kerasnya, terutama saat bermain di kandangnya yang terkenal angker bagi tim-tim lawan yang bermain di Kota Banda Aceh.
Salah satu yang membuat Persiraja sulit dikalahkan di kandangnya sendiri adalah dukungan luar biasa yang ditunjukkan oleh para pendukung dari seluruh penjuru Aceh dan juga suporter mereka yang dikenal dengan SKULL (Suporter Kutaraja Untuk Lantak Laju). SKULL sendiri didirikan pada tahun 2007.
Persiraja berhasil mengangkat marwah persepakbolaan Aceh yang sebelumnya tenggelam akibat Konflik Aceh dengan menjadi juara 2 Divisi Utama Liga Indonesia 2010–2011 setelah kalah tipis dengan skor 1-0 di partai final oleh tim asal Daerah Istimewa Yogyakarta, Persiba Bantul. Dengan lolosnya Persiraja sebagai runner-up, maka untuk musim 2011/2012 Persiraja bermain di kasta tertinggi kompetisi sepak bola Indonesia yang lebih dikenal Liga Super Indonesia.
Namun pada pertengahan tahun 2011, terjadi kisruh di tubuh PSSI (Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia) dikarenakan kepengurusan yang saat itu dipegang oleh rezim Nurdin Halid dianggap gagal memajukan prestasi sepak bola Indonesia. Lalu PSSI akhirnya membentuk kepengurusan yang baru dan diketuai oleh Djohar Arifin Husin. Nama kompetisi pun berubah, yang dulunya LSI kemudian diganti nama dengan IPL (Indonesian Premier League) atau Liga Prima Indonesia.
Dengan terbentuknya kepengurusan PSSI yang baru serta mewajibkan tim-tim sepak bola agar tidak menggunakan dana APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) pada era industri sepak bola modern, maka pada bulan Agustus tahun 2011 Persiraja melakukan kerjasama merger bersama Aceh United yang merupakan tim peserta Liga Primer Indonesia (LPI) asal Aceh dan berada di bawah naungan PT. Aceh Sportindo Mandiri untuk mengarungi kompetisi Liga Prima Indonesia 2011–2012.
Pada musim 2014/2015 Persiraja mengalami perselisihan internal dengan Pemerintah Kota Banda Aceh yaitu dengan Kadis DPKAD Banda Aceh Drs Purnama Karya dan Pejabat Pemkot Banda Aceh yang terlibat dalam klub Persiraja Banda Aceh, adanya pejabat kota yang menjabat di kerangka pimpinan di klub Persiraja mengakibatkan sebenarnya telah melanggar Peraturan (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2011 : melarang pejabat menjabat/menggunakan dana APBD ke Klub Sepak Bola dan Politik dilarang dalam sepak bola). Persiraja awalnya secara resmi tergabung di grup 1 DU, namun pihak Persiraja mengumumkan di laman resmi mereka pada 8 April 2014 secara resmi bahwa mereka tidak akan mengikuti kompetisi D 2014 yang akan dihelat 15 April 2014 mendatang, akibat perselisihan internal antara Pemkot Banda Aceh dan Persiraja.
Pada musim 2015/2016 Persiraja ikut terkena imbas dari permasalahan PSSI dan Pemerintah Pusat, Pemain Persiraja tidak mendapatkan gaji dan klub kekurangan sponsor yang menjadikan Pemain Persiraja tidak mendapatkan kepastian masa depan akibat dari penghentian sementara liga-liga di Indonesia.
Tahun 2017, adalah awal mula bagi persepakbolaan Indonesia berjalan setelah terkena sanksi FIFA. Persiraja Banda Aceh memulai musim di Liga 2, dan gagal melaju Liga 1 setelah di sesi grup 1 setelah kalah 1 poin dari PSMS Medan di akhir musim. Persiraja mampu bertahan di Liga 2, dengan memimpin juara Grup E di Play Off 2 dan tidak didegradasi ke Liga 3.
Pada Liga 2 2018, Persiraja berhasil memperoleh posisi ke-2 di klasemen Grup Wilayah Barat dan melaju ke babak-2 yang menggabungkan 4 tim yang memperoleh poin tertinggi dari 2 Wilayah Barat & Timur Liga 2. Namun Persiraja hanya mampu mendapatkan posisi ke-3 di Grup B kalah 1 Poin dari PSS Sleman dan Persita Tangerang, yang menggagalkan Persiraja selangkah dari memasuki Liga 1.
Pada musim Liga 2 2019, Persiraja berhasil menjadi juara 3 setelah di pertandingan perebutan tempat ketiga mengalahkan Sriwijaya FC 1-0. Dan berhak promosi ke Liga 1 2020.
Persiraja Banda Aceh sementara ini bermarkas di Stadion Harapan Bangsa yang beralamat di Jalan Sultan Malikul Saleh No. 97 Gampong Lhong Raya, Kecamatan Banda Raya, Kota Banda Aceh, Aceh. Tim ini memiliki julukan Laskar Rencong dengan motto Lantak Laju (Hajar Terus). Persebakbolaan di Banda Aceh menjadi hidup dengan kehadiran Persiraja Banda Aceh dan didukung oleh para tifosi penggemar sepak bola Aceh yang terus bertambah.
Tanah rencong memiliki potensi besar karena tersedia bakat-bakat pemain muda dan suporter sepak bola yang aktif. Klub kebanggaan masyarakat Aceh ini akan menampung bakat-bakat pemain muda lokal untuk berprestasi, dan menyuguhkan tontonan menghibur kepada para penonton juga suporter.
Persiraja dulu berselisih dengan sesama klub Aceh, PSAP Sigli. Derby ini biasa disebut dengan Derbi Klasik Aceh. Pertandingan mereka selalu dalam suasana panas.[3][4] Satu kejadian paling tragis terjadi pada 2014, saat kiper PSAP Sigli, Agus Rahman, melakukan tekel keras terhadap striker Persiraja, Akli Fairuz. Akli mengalami kebocoran kandung kemih dan, beberapa hari setelah pertandingan, meninggal karena luka dalam akibat tekel tersebut.[5] Dia menerima skorsing setahun yang diberikan oleh PSSI.[6] Saat ini, sejak Persiraja dan PSAP Sigli tidak lagi berada di level yang sama, persaingan telah mereda. Selain itu, Persiraja juga memiliki rivalitas dengan klub Aceh lainnya, PSBL Langsa.[7][8]
Didirikan pada tahun 1998 Stadion Harapan Bangsa terletak di Gampong Lhong Raya, Kecamatan Banda Raya, Kota Banda Aceh, Aceh yang juga merupakan markas klub sepak bola Persiraja Banda Aceh mulai tahun 2011/2012, namun status Stadion Harapan Bangsa sering dijadikan tempat Event tertentu oleh seluruh Provinsi Aceh dan tidak hanya dimiliki khusus oleh Persiraja atau Pemkot Banda Aceh karena stadion tersebut dibangun dengan APBA Aceh dan secara otomatis stadion tersebut milik Pemerintah Aceh. Stadion ini direnovasi setelah bencana Gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia 2004. Stadion Harapan Bangsa memiliki kapasitas 45.000 tempat duduk. Stadion kebanggaan Tanah Rencong ini sempat menjadi salah satu stadion termegah di Indonesia pada rentang tahun 1998-2000 namun akibat kurangnya perawatan di stadion ini dan terjadinya gempa tsunami membuat julukan itu tinggal kenangan.
Berbeda dari Stadion Harapan Bangsa, Stadion Haji Dimurthala adalah markas Persiraja yang dibangun oleh Pemerintah Kota Banda Aceh khusus untuk menjadi home base Persiraja. Stadion Haji Dimurthala adalah sebuah stadion yang terletak di Gampong Kota Baru, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Aceh, Negara Indonesia. Stadion ini dinamakan seperti nama legenda Persiraja Banda Aceh, H. Dimurthala atau lebih dikenal dengan nama Bang Mur dipergunakan untuk menggelar pertandingan sepak bola dan merupakan markas dari klub sepak bola Persiraja Banda Aceh. Stadion ini memiliki kapasitas 20.000 orang. Stadion tersebut juga terkena dampak akibat Tsunami 2004 dan direnovasi terutama saat Presiden FIFA, Sepp Blatter dalam kunjungannya ke Stadion Haji Dimurtala, Selasa 4 April 2006.
Dukungan luar biasa yang ditunjukkan oleh para penonton setia dari berbagai penjuru Aceh dan juga suporter Persiraja yang dikenal sebagai organisasi S.K.U.L.L. (Suporter Kutaraja Untuk Lantak Laju). Organisasi S.K.U.L.L. yang didirikan pada tahun 2007 ini juga terkenal sebagai suporter yang sangat sportif dan hampir tidak memiliki catatan buruk dari Komdis PSSI.
Catatan: Bendera menunjukkan tim nasional sesuai dengan peraturan FIFA. Pemain dapat memiliki lebih dari satu kewarganegaraan non-FIFA.
DPRK Banda Aceh Tahun : 2020 No. Peraturan: 7
PROFIL SEKOLAH DASAR NEGERI 25 BANDA ACEH
Sekolah Dasar Negeri 25 Kota Banda Aceh berdiri sejak tahun 1970, yang pada awalnya berstatus sebagai Sekolah Dasar Inpres, Sekolah Dasar ini terletak di Kelurahan Bandar Baru Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh dengan luas areal 1. 876 m2. Sekolah ini telah mengalami perubahan baik menyangkut fisik maupun non fisik, sehubungan dengan peristiwa Gempa dan Tsunami pada 26 Desember 2004, Sekolah Dasar Negeri 25 termasuk salah satu sekolah terkena imbas Tsunami. Pertama Sekolah ini mendapat bantuan biaya rehap dari Asuransi MANULIFE Indonesia.Pasca Tsunami rekonstruksi gedung sekolah ini dibantu oleh UNICEF, dan peresmiannya akhir tahun 2008.
Riwayat kepemimpinan SD Negeri 25 adalah sebagai berikut :
1. Bapak Ibrahim, Periode tahun 1975-1982
2. Ibu Mariwi Narsiah, Periode tahun 1982-1984
3. Ibu Dra. Hj. Mariani, Periode tahun 1984-1992
4. Ibu Rohana Jamil, Periode tahun 1992-1995
5. Ibu Dra. Budiah, MM, Periode tahun 1995-2001
6. Ibu Hj. Nina Aryani, S. Pd, Periode tahun 2001-2011
7. Ibu Dra. Hj. Susilawaty, M. Pd, Periode tahun 2011-2015
8. Ibu Basaria Tampubolon, S. Pd, Periode 2015 – 2017
9. Ibu Hj. Erliana, S. Pd, Periode 2017 – 2018
10. Ibu Yuliana, S.Pd (Plt), Periode 2018-2020
11. Ibu Nurhaida, S.Pd.SD. , Periode 2020-sekarang
Sekolah Dasar Negeri 25 juga memiliki Komite yang selalu penuh perhatian terhadap sekolah. Komite sangat mendukung Program Sekolah demi untuk melancarkan dan kemajuan sekolah, demikian juga dengan masyarakat disekitarnya. Sekolah Dasar Negeri 25 ini selesai di bangun pada bulan November 2008 yang lalu. Seiring dengan perjalanan waktu jumlah siswa(i) juga bertambah setiap tahun.
SD Negeri 25 mempunyai beberapa ruang antara lain
1 (satu) ruang kepala sekolah
1 ( satu ) ruang operator sekolah
1 ( satu ) ruang perpustakaan
1 (satu) ruang perpustakaan PAI
1 (satu) ruang ibadah/musalla
10 ( sepuluh) ) ruang kelas
Deltras FC Persijap Jepara Persikota Tangerang PSMS Medan Sriwijaya FC PSPS Pekanbaru PERSIS Solo Persela Lamongan Persiraja Banda Aceh Gresik United FC Persikabo 1973 PSIM Yogyakarta Perserang Serang PSCS Cilacap PSKC Cimahi Hizbul Wathan FC Persekat Tegal Persikab Bandung Persipa Pati Nusantara United FC Malut United FC Dejan FC
Daftar Walikota Banda Aceh
Pesisir Banda Aceh pada 12 Februari 2005
Citra Satelit Banda Aceh sebelum dan sesudah Tsunami 2004
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Banda_Aceh)
Banda Aceh sebagai ibukota Kesultanan Aceh Darussalam berdiri pada abad ke-14. Kesultanan Aceh Darussalam dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha yang pernah ada sebelumnya, seperti Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura (Indrapuri). Dari batu nisan Sultan Firman Syah, salah seorang sultan yang pernah memerintah Kesultanan Aceh, didapat keterangan bahwa Kesultanan Aceh beribukota di Kutaraja (Banda Aceh). (H. Mohammad Said a, 1981:157).
Kemunculan Kesultanan Aceh Darussalam yang beribukota di Banda Aceh tidak lepas dari eksistensi Kerajaan Islam Lamuri. Pada akhir abad ke-15, dengan terjalinnya suatu hubungan baik dengan kerajaan tetangganya, maka pusat singgasana Kerajaan Lamuri dipindahkan ke Meukuta Alam (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo a, 2006:72-73). Lokasi istana Meukuta Alam berada di wilayah Banda Aceh.
Sultan Ali Mughayat Syah memerintah Kesultanan Aceh Darussalam yang beribukota di Banda Aceh, hanya selama 10 tahun. Menurut prasasti yang ditemukan dari batu nisan Sultan Ali Mughayat Syah, pemimpin pertama Kesultanan Aceh Darussalam ini meninggal dunia pada 12 Dzulhijah Tahun 936 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 7 Agustus 1530 Masehi. Kendati masa pemerintahan Sultan Mughayat Syah relatif singkat, namun ia berhasil membangun Banda Aceh sebagai pusat peradaban Islam di Asia Tenggara. Pada masa ini, Banda Aceh telah berevolusi menjadi salah satu kota pusat pertahanan yang ikut mengamankan jalur perdagangan maritim dan lalu lintas jemaah haji dari perompakan yang dilakukan armada Portugis.
Pada masa Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh tumbuh kembali sebagai pusat perdagangan maritim, khususnya untuk komoditas lada yang saat itu sangat tinggi permintaannya dari Eropa. Iskandar Muda menjadikan Banda Aceh sebagai taman dunia, yang dimulai dari komplek istana. Komplek istana Kesultanan Aceh juga dinamai Darud Dunya (Taman Dunia).
Pada masa agresi Belanda yang kedua, terjadi evakuasi besar-besaran pasukan Aceh keluar dari Banda Aceh yang kemudian dirayakan oleh Van Swieten dengan memproklamirkan jatuhnya kesultanan Aceh dan merubah nama Banda Aceh menjadi Kuta Raja. Setelah masuk dalam pangkuan Pemerintah Republik Indonesia baru sejak 28 Desember 1962 nama kota ini kembali diganti menjadi Banda Aceh berdasarkan Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des 52/1/43-43
Pada tanggal 26 Desember 2004, kota ini dilanda gelombang pasang tsunami yang diakibatkan oleh gempa 9,2 Skala Richter di Samudera Indonesia. Bencana ini menelan ratusan ribu jiwa penduduk dan menghancurkan lebih dari 60% bangunan kota ini. Berdasarkan data statistik yang dikeluarkan Pemerintah Kota Banda Aceh, jumlah penduduk Kota Banda Aceh hingga akhir Mei 2012 adalah sebesar 248.727 jiwa.
Letak astronomis Banda Aceh adalah 05°16′ 15″ – 05° 36′ 16″ Lintang Utara dan 95° 16′ 15″ – 95° 22′ 35″ Bujur Timur dengan tinggi rata-rata 0,80 meter diatas permukaan laut.
Pasar Peunayong, Banda Aceh
Pada 2001, Dana Alokasi Umum untuk Banda Aceh adalah sebesar Rp. 137,95 miliar.
Kota Banda Aceh terdiri dari 9 Kecamatan, 17 Mukim, 70 Desa dan 20 Kelurahan. Walikota Banda Aceh yang sekarang adalah Mawardi Nurdin.[3] Ia terpilih dalam Pilkada pada 11 Desember 2006, yang berpasangan dengan Illiza Saaduddin Djamal (politisi Partai Persatuan Pembangunan). Sebelumnya, Mawardi yang merupakan Kepala Dinas Perkotaan dan Permukiman Kota Banda Aceh, juga pernah menjabat sebagai Pejabat Sementara (PjS) Walikota Banda Aceh yang dilantik Wakil Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Azwar Abubakar pada 8 Februari 2005. Pelantikan itu sesuai dengan keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 131.21/52/2005 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Walikota Banda Aceh. Mawardi Nurdin menjabat sebagai Walikota Banda Aceh setelah wali kota sebelumnya Syarifudin Latief dipastikan meninggal dunia akibat bencana tsunami. Dalam surat keputusan itu juga disebutkan masa menjabat sebagai PjS Walikota Banda Aceh paling lama enam bulan sejak pelantikan.